Yang Tak Kunjung Usai: Novel yang Mengisahkan Pergulatan Cinta Sesama Jenis

4 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Yang Tak Kunjung Usai
Iklan

Bagas adalah seorang pemuda yang sedang bergumul dengan orientasi seksualnya. Bagas selalu dihantui perasaan berdosa...

Judul: Yang Tak Kunjung Usai

Penulis: Awi Chin

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun terbit: 2010

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia

Tebal: 392

ISBN: 978-602-481-0

Novel ini menggunakan sebuah desa di pedalaman Kalimantan Barat sebagai latar belakang. Latar belakang ini sesuai dengan tokoh-tokoh yang mewakili masyarakat Kamimantan Barat yang multietnik. Sebuah desa di pedalaman Kalimantan Barat yang dihuni oleh orang Tionghoa, Dayak dan pendatang (Jawa, Batak, dan etnik lainnya).

Persoalan yang diurai dalam novel ini adalah tentang persoalan kehidupan yang cukup berat. Namun Awi Chin memilih menggunakan tokoh-tokoh remaja yang masih sekolah di level SMA. Persoalan iman, kepahitan hidup, orientasi seksual dan pergaulan yang kelewat batas menjadi bahasan dalam novel ini. Maka, meski tokoh-tokohnya remaja, Awi Chin tidak memilih bercerita ala teenlit. Ia tetap mempertahankan cara bertutur novel sastra.

Tokoh utamanya adalah Saul – Saulus Wirajaya. Saul adalah seorang pemuda Tionghoa. Ia datang dari Jakarta ke desa tersebut karena ia harus pindah setelah ayahnya meninggal. Ia kembali ke desa asal ayahnya. Saul seorang yatim piatu. Ia tak pernah bertemu dengan ibunya. Kehidupannya yang hanya bersama ayah, membuatnya membenci sosok ibu. Saul menjadi seorang pemuda pemurung.

Kepindahannya ke kampung membuat ia bertemu dengan tokoh Bagas. Bagas adalah anak seorang kepala suku di pedalaman. Bagas sekolah di SMA dan tinggal di asrama gereja. Bagas adalah seorang pemuda Dayak yang sedang bergumul dengan orientasi seksualnya. Bagas selalu dihantui perasaan berdosa. Iman Kristen yang dianutnya membuat ia merasa dibebani dosa besar karena lebih menyukai sesama jenis dalam percintaan. Awi Chin cukup baik menggambarkan pergumulan Bagas sebagai seorang homosex.

Untuk menghindari tuduhan bahwa Bagas dan Saul menjalin hubungan cinta, Saul memilih untuk memacari Mey, teman sekelasnya. Meski Saul tidak benar-benar cinta kepada Mey, tetapi pada suatu kesempatan saat mereka berdua, Saul yang orientasi sexnya normal tidur dengan Mey. Mey hamil! Kisah bergulir ke pergumulan Saul antara mempertahankan cintanya kepada Bagas dan rasa tanggungjawab karena sudah menghamili Mey.

Tokoh Mey dalam novel ini menggambarkan bagaimana tipologi anak remaja di pedalaman Kalimantan Barat. Identitas ketionghoaannya masih lekat menempel. Mey adalah anak cerdas tapi belum matang. Itulah sebabnya ia terperosok pada kehamilan yang tak direncanakan. Kecerobohannya tersebut harus dibayar dengan sangat mahal, yaitu kematian saat melahirkan.

Pada bagian akhir, kita disuguhi kisah kehidupan keluarga ayah Saul yang menimbulkan kepahitan hidup pada diri Saul. Ketika semua kisah hidup tersebut terbongkar, Saul jadi menyadari bahwa selama ini ia telah salah sangka terhadap sosok ibu yang melahirkannya. Ibunya bukanlah sosok perempuan yang abai terhadap anaknya.

Kisah-kisah yang diunggah oleh Awi Chin dalam novel ini menggambarkan betapa rumitnya persoalan masyarakat multietnik yang berkelindan dengan persoalan politik. Luka-luka masa lalu membekas dalam kehidupan tokoh-tokohnya. Semisal Bagas menjadi seorang homosex, karena masa kecilnya pernah diperkosa.  Saul menjadi seorang yang penuh kepahitan karena ia tumbuh tanpa cinta seorang ibu. Ayahnya pun ternyata adalah anak hasil perkosaan. Saul menjadi paham bagaimana ia harus menjadi ayah yang membesarkan anak tan pa istri.

Keberanian Awi Chin memilih tokoh remaja untuk membahas persoalan hidup yang demikian rumit, perlu diapresiasi. 956

 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler